Kesehatan merupakan satu dari sekian kebutuhan yang mendasar bagi setiap individu. Untuk dapat memperolehnya, masing – masing individu memiliki cara sendiri ataupun mengupayakan dan atau diupayakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pengupayaan yang berasal dari tiap individu tidaklah cukup. Untuk itulah, peran pemerintah sebagai pengemban mandat masyarakat untuk menyediakan pelayanan kesehatan sangatlah krusial.
Pelayanan kesehatan merupakan program yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintahan Indonesia sejak dahulu kala, mulai zaman Presiden Soekarno sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga sekarang, pelayanan kesehatan memasuki babak baru dimana negara Indonesia mulai berkaca ke negara – negara yang lebih maju, misalkan Jerman dan Belanda yang berhasil menerapkan sistem kesehatan yang mampu dinikmati oleh setiap golongan masyarakat. Beranjak dari sana, masalah – masalah yang tak jarang dijumpai di Indonesia ialah adanya diskriminasi terhadap golongan masyarakat tertentu untuk mendapatkan hak mereka atas pelayanan kesehatan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah adanya “pengkotak – kotakan” atas pelayanan kesehatan berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat. Walaupun sudah ada Askes dan jaminan atau asuransi kesehatan lainnya, nyatanya masih banyak diskriminasi yang terjadi di sana – sini. Untuk itulah, pemerintah mengusung program atau kebijakan baru untuk pemenuhan kesehatan masyarakat agar dapat dinikmati dengan adil layaknya di negara “Barat” sana. Program yang diambil adalah Jaminan Kesehatan Nasional atau yang kini disingkat “JKN”.
JKN mulai dilaksakan 1 Januari 2014 lalu dan direncanakan mulai aktif secara nasional sistem kepesertaannya hingga 1 Januari 2019. Dalam pelaksanaannya, JKN memiliki sebuah badan penyelenggara yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau disingkat “BPJS”. Tujuan dari adanya JKN ini sebenarnya mulia, dimana sistem ini ingin mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi, apabila kita melihat lebih jauh ke Belanda, mereka baru berhasil memberikan pelayanan kesehatan yang merata setelah 100 tahun bereksperimen. Sebagai negara berkembang yang masih belajar, memang adopsi akan suatu sistem bisa memberikan hasil yang baik. Akan tetapi, kita juga harus memandang dari berbagai penjuru untuk mengambil tindakan mengadopsi sistem negara lain, misalnya dari segi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, lalu kebiasaan rakyat kita sendiri, dan lain sebagainya.
Pemerataan pelayanan kesehatan yang demikian rumit bagi Indonesia yang notabene negara kepulauan sebenarnya sulit untuk dikembangkan, walaupun rasa optimis harus selalu tertancap di dada. Kita lihat saja untuk pengadaan alat kesehatan, belum tentu fasilitas di Pulau Jawa sama dengan di Papua, karena mungkin alat-alat itu didatangkan dari luar negeri, harus transit di ibukota, baru bisa didistribusikan ke Papua yang mungkin harus menyebrang lautan atau terbang bersama pesawat distributor. Masalah geografis lainnya misalnya kondisi cuaca, kelembapan udara, dan sebagainya di masing- masing pulau yang tidak menentu juga bisa menjadi endemik dari berbagai penyakit dengan penanganan masing – masing daerah tidaklah sama, begitu pula alat – alat kesehatannya.
Hal berikutnya ialah tentang kebiasaan masyarakat kita. Banyak penyakit yang sebenarnya berasal dari kebiasaan buruk kita sendiri, misalnya asma dan penyakit pernafasan lainnya akibat merokok. Padahal, sudah banyak upaya pemerintah untuk menyadarkan masyarakat bahwa merokok merupakan kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian baik lewat tulisan di kemasan rokok maupun lewat media elektronik. Namun tetap saja masyarakat kita tidak bisa untuk lepas dari kebiasaan buruk ini. Masih banyak lagi kebiasaan buruk masyarakat, misal juga membuang sampah sembarangan dan sebagainya. Di sini, kita lihat dari sisi filosofisnya. Kita tahu bahwa dana BPJS berasal dari APBN dan iuran peserta. Dana yang dipungut atau sebagai uang premi untuk menjadi peserta merupakan investasi masing- masing individu untuk mendapat pelayanan kesehatan. Di samping itu, juga untuk mengembangkan pelayanan kesehatan di Indonesia. Harapan dari orang – orang yang mau membayar ini adalah terciptanya suatu pelayanan kesehatan yang baik, sehingga kesehatan masyarakat itu dapat terwujud. Akan tetapi, apabila ada masyarakat kita yang sama sekali tidak berusaha untuk mengurangi kebiasaan buruk mereka, sehingga mereka sakit-sakitan, artinya banyak orang “baik” di luar sana yang tanpa sengaja tanpa sepengetahuan mereka “membayari” biaya orang-orang yang tidak mau berubah ini. Secara dasar, ini merupakan pelanggaran atas hak mereka. Analoginya adalah saat orang mau membayar pajak, harapan mereka adalah adanya pelayanan dari pemerintah misalkan jalan raya yang “mulus”, pembangunan fasilitas barang dan jasa, dan sebagainya, yang dapat dinikmati dan terus dijaga keberadaannya dengan upaya – upaya pencegahan terhadap perusakannya atau apa saja yang dapat merusak fasilitas bersama ini. Apabila pemerintah gagal dalam menjaga jalan raya ini misalnya, maka adalah salah pemerintah akan kurangnya penjagaan terhadap jalan raya dan ini dapat merusak kepercayaan warga terhadap pembayaran pajak. Sama halnya jika uang premi orang “baik” itu yang tanpa sengaja dipakai untuk “membiayai” sakit orang-orang yang tidak mau mengupayakan kesehatan mereka, maka BPJS pun telah menodai kepercayaan orang “baik” ini. Dari sini kita tahu bahwa dalam pelaksanaan BPJS ini haruslah dilihat sampai mana BPJS ini berdampak, cocok tidak akan kondisi geografis maupun sosial warga Indonesia, dan aspek lain yang dapat mengurangi kebermanfaatan BPJS ini.
Akan ada baiknya jika BPJS ini terus diawasi, dievaluasi, diperbaiki, dikaji, didampingi sebelum kita negara Indonesia benar – benar menerapkannya 1 Januari 2019 kelak.
Kementerian Kajian Strategis BEM FK UGM
Sumber gambar : www.bpjs-kesehatan.go.id