Pada tanggal 28 sampai dengan 31 Maret 2014 telah diselenggarakan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Nasional (LKMM Nas) oleh Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) di Universitas Padjajaran Bandung. Acara tersebut dihadiri para mahasiswa kesehatan dari seluruh penjuru Indonesia yang terdiri dari program studi Pendidikan Dokter, Pendidikan Dokter Gigi, Farmasi, Kesehatan Masyarakat, dan Gizi Kesehatan. Dalam acara tersebut para peserta mendapatkan materi yang menarik seputar kepemimpinan dan manajerial. Acara dibukapada Jumat malam tanggal 28 Maret 2014. Kemudian pagi harinya para peserta mulai mendapatkan materi dari para pembicara. Berikut inilah ringkasan materi dalam LKMM Nas tersebut.
Selayang Pandang Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia
Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) adalah organisasi bersama antar mahasiswa kesehatan program strata-1 (lintas profesi) di Indonesia. JMKI dideklarasikan tanggal 20 April 2000 di Jakarta dalam Kongres Mahasiswa Kesehatan Indonesia (KMKI) I, merupakan tempat mengkaji dan mencari solusi berbagai permasalahan kesehatan di negeri ini sebagai wujud pengabdian mahasiswa kesehatan kepada masyarakat. Organisasi ini bersifat independen, egaliter, dan demokratis.
JMKI terbentuk dari hasil pertemuan ketua lembaga eksekutif mahasiswa kesehatan Indonesia (pendidikan dokter, kedokteran gigi, keperawatan, kesehatan masyarakat dan farmasi) pada tahun 1999 di Cibubur, Jakarta. Dengan demikian tentang kondisi pada saat itu tentang stigma “ego profesi” yang menjadi suatu rahasia umum di kalangan profesi kesehatan. Suatu pemikiran revolusioner yang berpijak pada idealisme mahasiswa tentang penempatan kepentingan kesehatan secara global di atas ego masing-masing profesi. Selain itu, adanya keprihatinan mahasiswa akan terbelengkalainya masalah kesehatan di Indonesia pada masa reformasi juga menjadi salah satu latar belakang yang menghantarkan terbentuknya JMKI. Dikarenakan gerakan awal JMKI berawal dari gerakan perseorangan yang saat itu tergabung dalam lembaga eksekutif sehingga organisasi ini dinamakan “jaringan” (nama jaringan mengandung nilai sejarah bukan keanggotaan). Pertemuan Cibubur ditindaklanjuti dengan KMKI I di kampus UI, Salemba tahun 2000, yang menjadi tonggak berdirinya JMKI (20 April 2000) dan menghasilkan kesepakatan bahwa diperlukan suatu pertemuan lanjutan untuk membahas pengorganisasian JMKI yang lebih baik. Terselenggaralah Pra KMKI II di UGM Yogyakarta tahun 2001 dalam rangka mempersiapkan KMKI II yang kemudian dilaksanakan di UNAIR, Surabaya (Agustus 2001). (Web JMKI)
JMKI sendiri terdiri dari 10 (sepuluh) wilayah, yaitu Sumatra Bagian Utara, Sumatra Bagian Selatan, Makasar, Yogyakarta, Jakarta Raya, NTB dan Bali, Priangan, Kalimantan, Jateng, serta Jatim. Satu kepengurusan JMKI Nasional (PHN) berlangsung selama dua tahun. Sekjend sebagai pemimpin eksekutif tertinggi di JMKI dipilih dalam KMKI (Kongres Mahasiswa Kesehatan Indonesia). Di tahun 2014 ini akan dilaksanakan KMKI yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Audiensi dan Lobbying
Audiensi adalah proses dengar pendapat antara dua belah pihak yang membahas suatu permasalahan tertentu. Langkah yang perlu dilakukan dalam persiapan audiensi (khususnya pada pemangku kebijakan) adalah diawali dengan surat pengantar yang berisikan maksud dan tujuan audiensi. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan agenda pelaksanaan audiensi, serta pembuatan sasaran pencapaian audiensi.
Lobbying merupakan suatu proses persuasif sebagai bentuk negosiasi informal untuk mengolah proses pertukaran kepentingan dalam situasi nyaman dan bersahabat. Lobbying memerlukan teknik tertentu guna mencapai tujuan. Teknik tersebut antara lain adalah pengenalan target, performance/penampilan diri yang baik, penyesuaian dengan situasi dan kondisi, pengemasan pesan secara baik, dan keberanian mengambil peran dalam audiensi.
Audiensi dan lobbying adalah dua hal yang pasti ada dalam penerapan berorganisasi, khusunya dalam ranah pergerakan mahasiswa. Penyelesaian masalah dengan audiensi dilakukan agar kepentingan dan pandangan kedua belah pihak bisa terakomodir. Sementara lobbying dilakukan ketika suatu kebijakan atau ketentuan merugikan/kurang bersahabat dengan lingkungan. Maka dari itu keduanya sangat penting untuk dikuasai oleh aktivis pergerakan.
Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1). Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke 58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage.
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Jaminan Kesehatan Nasional dibutuhkan karena dijalankan dalam bentuk asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan sendiri mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri out of pocket, dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan secara perorangan.
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup, diperlukan Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Sosial. Mengapa? Pertama, premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Kedua, manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas. Sebaliknya, asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut. Pertama, memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua, asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Hal ini berarti peserta bisa mendapatkan pelayanan yang bermutu dan memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau “terserah rumah sakit”. Ketiga, asuransi kesehatan sosial menjamin sustainability (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan). Keempat, asuransi kesehatan sosial memiliki portability, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/JKN bersifat wajib.
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.
Prinsip yang digunakan dalam Jaminan Kesehatan Nasional antara lain prinsip gotong royong, prinsip nirlaba, prinsip portabilitas, prinsip kepesertaan bersifat wajib, prinsip dana amanat, prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial. Prinsip gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu dan peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip nirlaba adalah pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat. Prinsip dana amanat adalah dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan social adalah dana dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Rekayasa Sosial dan Propaganda
Rekayasa sosial adalah campur tangan sebuah gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Rekayasa sosial dapat terjadi karena adanya permasalahan – permasalahan sosial di masyarakat. Permasalahan sosial dapat terbentuk karena adanya perbedaan antara das sollen (sesuatu yang seharusnya terjadi) dengan das sein (sesuatu yang menjadi kenyataan).
Rekayasa sosial menghasilkan perubahan sosial, perubahan sosial memliki dua tipe, yaitu perubahan sosial yang tak terencana dan perubahan sosial yang terencana. Ciri – ciri perubahan sosial tak terencana adalah terjadi terus menerus, berlahan – lahan, tidak ada yang mengarahkan atau merencanakan dan terjadi akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan globalisasi. Contoh perubahan sosial ini adalah penggunakan ponsel sebagai sarana komunikasi yang digunakan oleh semua jenjang sosial, dari tukang sayur sampai pemimpin negara ini. Sedangkan perubahan sosial yang terencana memiliki ciri – ciri yang berkebalikan dengan perubahan sosial tak terencana.
Perubahan sosial dapat terjadi karena berbagai sebab, terdapat 3 sebab utama, yaitu adanya ide yang mempengaruhi perubahan sosial, adanya tokoh – tokoh besar yang menimbulkan perubahan besar di tengah – tengah masyarakat dan karena adanya gerakan sosial atau revolusi. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan cara berpikir. Arah perubahan ini tergantung benar atau salahnya arah berpikir masyarakat, jika terjadi kesalahan berpikir, maka arah perubahan sosial akan mengarah ke kesalahan juga.
Kesalahan berpikir dalam masyarakat memiliki berbagai macam jenis, antara lain adalah fallacy of dramatic instance, fallacy of retrospective determinism, post hoc ergo proper hoc, fallacy of composition, circular reasoning, argumentum ad auctoritatis, argumentum ad misericordiam. Fallacy of dramatic instance yaitu kecenderungan untuk melakukan analisa masalah sosial dengan menggunakan satu dua kasus sebelumnya untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (over generalization). Fallacy of retrospective determinism adalah kebiasaan masyarakat yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai suatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang, atau dapat dijelaskan sebagai upaya kembali pada suatu yang seakan – akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu, sebagai contoh adalah kebiasaan korupsi anggota DPR RI yang seakan – akan dari dibentuknya DPR RI hingga kapanpun, anggotanya pasti korupsi. Post hoc ergo proper hoc adalah anggapan yang menghubungkan dua hal, yaitu bahwa karena kejadian A maka terjadilah kejadian B, atau jika kejadian A tidak terjadi, maka B tidak akan terjadi. Fallacy of composition adalah kesalahan dugaan bahwa sesuatu yang berhasil untuk satu orang tentu berhasil untuk semua orang, contohnya adalah penjual tahu Sumedang yang akhirnya diikuti oleh masyarakat sekitar. Circular reasoning adalah pemikiran yang berputar – putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula, yang menyebabkan tidak ada hasil karena perdebatan yang berputar – putar, contohnya adalah perdebatan mengenai mana yang. Argumentum ad autoritatis adalah kesalahan berpikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan memperoleh pengampunan/keinginannya.
Urgensi dari rekayasa sosial sendiri adalah karena perubahan sosial di masyarakat selalu ada, masyarakat mengharapkan kesejahteraan dan sebagai control utama dari pelaku sosial. Rekayasa sosial memiliki beberapa konsep, antara lain evolusi, revolusi, reformasi dan metamorphosis sosial. Evolusi ada perubahan sosial yang terjadi dalam proses yang lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Evolusi ini mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, sejalan dengan usaha masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan. Revolusi adalah sebuah terobosan historis yang bergerak cepat yang membentuk masyarakat baru dan bentuk dari perubahan sosial. Revolusi ini jika terjadi pada masyarakat, sangat beresiko dan sporadis, dapat pula menutup suatu zaman dan membuka zaman baru. Revolusi memiliki ciri antara lain, menghasilkan perubahan dalam skala paling luas dan menyentuh seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat, bersifat radikal, fundamental dan mengakar pada inti permasalahan, sangat cepat terjadi, menunjukkan perubahan yang paling nyata, menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang besar dari seluruh pihak. Salah satu contoh revolusi adalah revolusi industri. Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama dalam suatu masyarakat atau negara, terjadi karena masyarakat menghendaki perubahan yang signifikan untuk mengubah hal – hal yang sudah tidak dipandang baik, bentuk perubahannya parsial namun drastis dan memberikan efek pada situasi yang lain secara utuh. Metamorfosis sosial adalah gagasan perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik, dimana terjadi hubungan erat dengan bentuk, pola, kondisi, sistem dan peran masyarakat, menawarkan perubahan di setiap aspek kehidupan secara menyeluruh, mempertimbangkan efek secara matang, membutuhkan biaya besar dan waktu yang relatif cepat.
Terdapat strategi dalam mewujudkan rekayasa sosial di masyarakat, antara lain revolusi, yaitu penggunaan tenaga dari masyarakat yang menuntut perubahan sosial, kemudian normatif – reedukatif, yaitu penanaman norma pada kehidupan bemasyarakat yang secara pelan – pelan menyebabkan rekayasa sosial, yang terakhir adalah persuasif, yaitu melalui pembentukkan opini dan pandangan di dalam masyarakat.
Propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha untuk mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau salahnya pesan yang disampaikan, selain itu propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok – kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang terjadi, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh propagandis.
Tujuan dari dibuatnya propaganda adalah untuk menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan – tindakan suatu massa yang terdiri atas individu – individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan dalam suatu organisasi. Komponen dalam propaganda antara lain komunikator, komunikan, kebijaksanaan, pesan tertentu, sarana atau media, teknik yang efektif, kondisi dan situasi yang memungkinkan.
Teknik – teknik dalam propaganda antara lain Name calling, Glittering Generalities, Transfer, Testimonial, Plain folk dan using all form of persuasions. Name calling adalah teknik propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk terhadap sesuatu, bertujuan agar orang menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Glittering Generalities adalah mengasosiasikan sesuatu dengan suatu kata bijak, tujuannya agar orang menerima dan menyetujui sesuatu hal tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Transfer meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang lebih dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat sesuatu itu lebih diterima. Testimonial merupakan tanggapan terhadap ide, program atau produk yang berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci. Plain folk adalah teknik propaganda dengan cara seorang propagandis mencoba meyakinkan khalayak dengan menempatkan dirinya ditengah – tengah khalayak dan berbaur dengan mereka, menggunakan apa yang khalayak pakai, dan berlaku seperti apa yang khalayak lakukan. Using all form of persuasions adalah teknik yang digunakan untuk membujuk orang lain dengan rayuan, himbauan dan iming – iming. Media propaganda antara lain : media massa (cetak dan elektronik), buku (biografi, sejarah dan teori), film (peristiwa dan sejarah), selebaran, seminar(diskusi ilmiah) dan diskusi.
Proses pergerakan itu dimulai dari hati, dimulai dengan berpikir besar, dimulai oleh sedikit orang dan bertindak sekarang juga. Proses pergerakan membutuhkan agent of change, yaitu leaders (pemimpin atau tokoh) dan supporters. Peran dari leader dibantu oleh director, advocates, bankers, administrators dan technicians. Sedangkan supporters terdiri dari worker (aktivis gerakan social), donor (penyumbang yang tidak ikut aktif), simpatisan yang sewaktu – waktu dapat turut berdemontrasi dan menyumbangkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
Delegasi :
Mokhamad Ali Zaenal Abidin – Presma FK UGM
Firmansyah Aditya Muchti – PSDM BEM FK UGM